Menjunjung Tinggi Pluralisme Dalam Perbedaan Nusantara
Pada era globalisasi sekarang ini, sebagian besar negaranegara di dunia telah membuka diri terhadap kebebasan beragama penduduknya. Tren ini mengakibatkan munculnya ratusan kepercayaan yang terus berkembang di seluruh negara di dunia. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia bahkan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk menganut dan mempraktekkan kepercayaannya seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Setiap warga negara diberikan hak untuk melaksanakan tanggung jawab keagamaannya secara terbuka, tanpa perlu was-was lagi.
Tanpa disadari, peristiwa ini mengakibatkan semakin beragamnya agama yang turut berkembang di Indonesia. Keragaman semakin mewarnai tanah air Indonesia, baik keragaman budaya maupun agama yang dianut oleh masyarakat. Pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid misalnya, agama Konghucu resmi ditetapkan sebagai agama resmi keenam di Indonesia. Walaupun penganut Muslim tetap menjadi dominan, agama lain tetap hidup dan berkembang di bumi nusantara. Di kalangan pengikut ajaran Buddha sendiri, muncul tiga tradisi utama yang berkembang di Indonesia. Masing-masing tradisi membawa gaya dan metodenya sendiri, namun tetap berpegang pada sumber ajaran akar dari Guru Buddha.
Berdasarkan data yang dilansir pada tahun 2008, jumlah penganut agama Buddha di Indonesia berkisar 0,6% dari total penduduk Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Buddha merupakan agama minoritas di Indonesia. Jumlah yang sangat kecil itu menunjukkan bahwa penganut Buddhis di Indonesia harus berhadapan dengan 99,4% penduduk Indonesia yang beragama lain. Bagaimana cara menyikapi adanya fenomena ini?
Beda Rumah, Beda Keadaan
Fenomena dimana umat Buddha di Indonesia menjadi minoritas memang tidak terjadi di seluruh negara. Umat Buddhis yang hidup di Tibet atau Thailand mungkin dapat melaksanakan ibadah dengan mudah dan berinteraksi dengan tenang kepada penduduk yang lain, karena memang hampir semua penduduknya beragama Buddha. Begitu pula dengan umat Muslim di Indonesia yang dengan mudahnya mendapatkan fasilitas ibadah karena banyaknya masjid yang tersebar dimana-mana.
Berbeda dengan realita itu, nyatanya umat Buddha di Indonesia memang dilahirkan dengan karmanya untuk hidup di bumi nusantara ini dengan keadaan seperti sekarang. Sangat mudah kita jumpai penduduk beragama Buddha di Indonesia yang bahkan tidak mempunyai rumah ibadah di daerah terpencil atau penduduk yang memilih beralih agama karena mendapatkan pasangan yang tidak seagama dengannya. Peristiwa-peristiwa ini menyiratkan betapa pentingnya keyakinan yang kokoh dan dilandasi dengan semangat pluralisme di bumi Indonesia ini.
“Para Bhikkhu, kuizinkan engkau mempelajari sabda Sang Bhagava dalam bahasamu sendiri”
(Vinaya II, 139)
Sabda Buddha memperjelas bahwa ada dua poin penting tentang bagaimana caranya seorang Buddhis harus menyikapi pluralisme, khususnya yang terjadi di Indonesia.
-
Menyadari bahwa Dharma adalah sumber ajaran yang murni, artinya ajaran yang kita terima harus berlandaskan pada sumber ajaran yang terpercaya yang disampaikan oleh Guru Buddha.
-
Dharma dapat diturunkan dengan tradisi yang berlainan, sehingga dapat dipelajari dengan “bahasa” yang sesuai.
Adalah sesuatu hal yang sangat penting bagi penganut Buddhis di Indonesia untuk mempertebal keyakinan kita terhadap Triratna. Walaupun pada dasarnya Buddha tidak pernah memaksa pengikutnya untuk mengikuti ajaran yang dipaparkan beliau, namun cara pikir seperti itu hanya akan membuat kita tidak pernah maju dalam Dharma. Keyakinan terhadap Triratna perlu dipupuk secara berkesinambungan. Keyakinan yang dimaksud disini tetap saja adalah keyakinan yang mantap, namun tetap tidak membabi buta. Semangat penyelidikan tetap diperlukan dalam memupuk keyakinan, sesuai dengan prinsip Ehipassiko yang pernah diajarkan oleh Buddha.
Keyakinan yang kokoh ketika kita berhadapan dengan pengikut non Buddhis adalah sangat penting. Tanpa adanya keyakinan, kita akan sangat mudah beralih keyakinan dan mengabaikan Dharma sebagai inti praktek kita. Pergi ke vihara, membaca buku teks Dharma, melafalkan sutra atau mantra, dan sering mengunjungi orang-orang suci yang terhormat adalah caracara yang bisa dilakukan untuk memelihara keyakinan terhadap Buddha, Dharma, dan Sangha. Kegiatan-kegiatan tersebut tetap bisa kita lakukan walaupun dalam keseharian mungkin kita berhadapan dengan orang yang berbeda keyakinan.
Karena Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama, tak dapat dipungkiri umat Buddha di nusantara tetap perlu untuk membangun hubungan dan bersosialisasi dengan penganut kepercayaan lain. Dan Buddha sendiri tidak pernah melarang penganut Buddhis untuk berhubungan dengan penganut agama lainnya. Bahkan dulunya di India, umat Buddha dan Hindu dapat hidup secara berdampingan dan dengan damai. Hal itu pulalah yang selayaknya dilakukan oleh penganut agama Buddha di Indonesia. Tidak ada gunanya memelihara sikap intoleransi pada penganut agama lain. Hal itu hanya akan memperparah keadaan dan menyulut konflik keagamaan.
Kebijaksanaan dan toleransi adalah elemen yang perlu dipelihara untuk bisa survive bersosialisasi dengan penganut agama lain. Dalai Lama sebagai salah satu pemimpin spiritual di Tibet bahkan dikabarkan pernah melakukan shalat pada suatu kesempatan. Namun baginya ibadah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Itu hanyalah ekspresi keagamaan. Umat Buddha tidak akan pernah bermasalah atau ‘dihukum’ jika melakukan hal seperti itu. Hal tersebut justru dapat mempertebal keyakinan terhadap Triratna, apabila kita melakukannya dengan benar dan memahami arti pluralisme dengan benar.
“All major religious traditions carry basically the same message, that is love, compassion, and forgiveness the important thing is they should be part of our daily lives.”
(Dalai Lama)
Dengan adanya ragam agama dan kepercayaan yang berkembang di Indonesia, dewasa ini masyarakat sudah semakin bijak dan toleran dengan individu lain di Indonesia. Arus globalisasi yang menyatukan negara, bahasa, tradisi, dan kepercayaan membuat dunia semakin tak terbatas. Semuanya kembali lagi ke pertanyaan dasar: untuk apa kita beragama. Jika kita yakin bahwa agama Buddha akan memberikan kebahagiaan sejati bagi diri kita, maka yakinlah pula bahwa hidup bersama tidak akan mengurangi kebahagiaan itu. Ia akan justru memperindah kehidupan dengan semangat perbedaan.
Sumber: Dhammadana Para Dhammaduta 3