vidyasena header background

Membina Perkawinan Yang Bahagia Berdasarkan Buddha Dhamma

oleh Novianti 2 tahun yang lalu
Romo pandita agama buddha theravada sedang memberikan pemberkahan perkawinan

Masalah perkawinan adalah masalah yang umum dihadapi dan dilakukan oleh setiap orang. Perkawinan merupakan persoalan pribadi dan setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Dalam pandangan agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini dapat memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup berumah tangga ataupun tidak di dalam agama Buddha adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang memiliki niat berumah tangga, maka ia harus konsekuen dan setia dengan pilihannya yaitu melaksanakan tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. 

Perkawinan dalam pengertian Buddhisme lebih diartikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai Dharma. Sebagai umat Buddha agar membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras, dan seimbang. Sang Buddha pernah bersabda: 

“Inilah, O perumah tangga, empat jenis pernikahan. Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan atau pengertian (panna)”. 

(Anguttara Nikaya II, 62) 

Sabda Buddha seperti tersebut di atas mengandung makna bahwa dalam sebuah perkawinan menurut pandangan Buddhisme, sepasang suami istri tidak hanya dapat bersatu dan memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sekarang tetapi juga dalam kehidupan yang akan datang. Kesamaan keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup. Kesamaan keyakinan diantara pasangan suami istri hendaknya membawa keduanya dalam keserasian bertingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Kesamaan dalam memiliki watak kedermawanan dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan ikhlas dan tanpa syarat. Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar dalam menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dalam penyelesaian masalah. 

Kebahagiaan dalam perkawinan merupakan tujuan dari semua pasangan yang menikah. Setiap pasangan memiliki cara sendiri dalam usaha mencapai kebahagiaan perkawinan mereka. Di samping pertimbangan dalam kesamaan-kesamaan aspek yang telah diuraikan di atas, dalam Kitab Suci Tripitaka, Anguttara Nikaya II, 32 diuraikan bahwa minimal ada empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami istri yang harmonis. Keempat hal itu adalah: 

  1.  Kerelaan (Dana)

Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan dipetik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan (Samyutta Nikaya III, 415). Dengan demikian, apabila seseorang ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila seseorang ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kesediaan dalam hal merelakan merupakan pengembangan dari sifat saling pengertian dan saling memaafkan. Kesalahan yang dilakukan salah satu pasangan hidup, seringkali bukan karena disengaja. Oleh sebab itu, kemauan untuk menyadari kenyataan ini dapat menjadikan seseorang lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali–kali kepada pasangan sehingga dapat membangun kualitas dirinya menjadi lebih baik.

  1. Ucapan yang Baik atau Halus (Piyavaca

Setiap orang akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata-kata kasar, walaupun orang itu sendiri memiliki kebiasaan berkata kasar. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, sangat membantu dalam membina hubungan dengan pasangan hidup. Kata-kata halus yang berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan suatu hubungan. Mengucapkan kritik dan saran dengan bahasa yang halus dan pada situasi yang tepat perlu diperhatikan untuk menghindari timbulnya kesalahpahaman. Setiap pasangan suami istri hendaknya merenungkan bahwa menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata kasar sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri.

 

  1. Melakukan Hal yang Bermanfaat Baginya (Atthacariya

Berdana bukan hanya dengan memberikan materi tetapi dapat dilakukan dalam bentuk lain. Pengembangan konsep berdana disertai dengan pembentukan sikap mental yaitu dengan tujuan semoga semua mahluk hidup berbahagia. Memberikan kesempatan bahagia bagi pasangan hidup merupakan salah satu bentuk berdana. Seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya karena kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya. Setiap tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Banyak pendapat yang menganggap bahwa cinta adalah menuntut. Konsep yang menganggap bahwa orang yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai sesungguhnya tidak tepat. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Apabila konsep ini telah ditanamkan dengan baik dalam setiap individu, maka mencari pasangan hidup bukan menjadi permasalahan. Pola pikir ‘ingin membahagiakan orang yang dicintai’ hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan termasuk dalam kehidupan perkawinan.

  1. Batin Seimbang dan Tidak Sombong (Samanattata

Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut. Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah karmanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. 

Sang Buddha lebih lanjut menguraikan tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh suami terhadap istrinya dan juga sebaliknya. Oleh karena, keluarga bahagia akan dapat dicapai apabila suami dan istri dalam kehidupan perkawinan mereka telah mengetahui serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 118, yaitu bahwa tugas suami terhadap istri adalah memuji, tidak merendahkan atau menghina, setia, membiarkan istri mengurus keluarga, memberi pakaian dan perhiasan. Lebih dari itu, hendaknya disadari pula oleh suami bahwa dalam Ajaran Sang Buddha, istri sesungguhnya merupakan sahabat tertinggi suami (Samyutta Nikaya, 165). Sedangkan tugas istri terhadap suami adalah mengatur semua urusan dengan baik, membantu sanak keluarga suami, setia, menjaga kekayaan yang telah diperoleh, serta rajin dan tidak malas, pandai dan rajin dalam melaksanakan semua tugasnya serta segala tanggung-jawabnya. 

Buddha Dharma telah mengajarkan bahwa hidup ini diliputi ketidakpuasan. Penyebab adanya ketidakpuasan karena keinginan sendiri yang tidak terkendali. Oleh karena itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginannya, maka ketidakpuasan pun dapat segera diatasi. Dharma memberikan jalan keluar untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan. Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini, maka tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sesungguhnya, dengan melaksanakan kehidupan perkawinan sesuai dengan Dharma, kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.

 

Sumber: Dhammadana Para Dhammaduta 3

Artikel Terbaru