vidyasena header background

Membiasakan Diri Untuk Selalu Memberi

oleh Anton 2 tahun yang lalu
Gambar sedekah

Memberi dan diberi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi uang logam. Ketika ada orang yang memberi, berarti ada orang lain yang diberi. Tidak hanya itu, ketika kita berpikir memberi, berarti ada rasa peduli terhadap orang lain, rasa peduli yang muncul inilah yang memungkinkan seseorang untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan daripada hanya berpikir dan peduli tentang dirinya sendiri saja. Kebijaksanaan mengajarkan kita bahwa ada memberi dan menerima, tetapi tidak ada pemberi dan tidak ada penerima. Semuanya pernah menjadi pemberi dan pernah juga menjadi penerima. Pada saat yang sama, tidak ada memberi tanpa menerima. Dengan demikian, memberi dan menerima adalah satu. Memberi adalah baik, kemudian menerima adalah sama baik.

“Demikian telah dikatakan oleh Sang Buddha ... “Wahai para bhikkhu, seandainya para makhluk tahu, seperti yang aku tahu, buah dari perbuatan memberi serta berbagi, mereka tidak akan makan sebelum memberi; mereka tidak akan membiarkan noda kekikiran menguasai mereka dan mengakar di dalam pikiran.

Bahkan seandainya itu adalah makanan terakhir, suapan terakhir, mereka tidak akan menikmatinya tanpa membaginya seandainya ada orang yang dapat diajak berbagi.” “Tetapi, wahai para bhikkhu, karena para makhluk tidak tahu, seperti yang aku tahu, buah dari perbuatan memberi serta berbagi, maka mereka makan tanpa memberi dan noda kekikiran menguasai serta mengakar di dalam pikiran mereka.”

Pada saat yang sama, tidak ada memberi tanpa menerima. Dengan demikian, memberi dan menerima adalah satu. Memberi adalah baik, kemudian menerima adalah sama baik. 

Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Sang Buddha tinggal dan mengajar di daerah yang sekarang dikenal sebagai Nepal dan India. Nama saudagar Anathapindika sudah sangat sering kita dengar. Ia adalah penyokong utama pada saat jaman Sang Buddha hidup. Anathapindika adalah pengikut Sang Buddha yang selalu menyokong Sang Buddha. Dikisahkan Anathapindika membeli sebuah taman yang megah dan fasilitas dibangun di mana Sang Buddha dan para bhikkhu, masyarakatnya dapat hidup dan mengajar. Karena kedermawanan Anathapindika ini masyarakat awam selalu membicarakan kemurahan hati dari Anathapindika. Kedermawanan seperti Anathapindika ini hendaklah menjadi teladan bagi kita semua. Sang Buddha menyarankan bahwa tahap pertama dari jalan spiritual dalam Buddhis adalah untuk mempraktekkan kemurahan hati atau berdana. Memberi memiliki nilai yang luar biasa pentingnya dalam Buddhis karena memberi merupakan senjata yang ampuh untuk melawan keserakahan (lobha). 

Praktek memberi, atau dana dalam bahasa Pali, memiliki tempat unggul dalam ajaran Sang Buddha. Praktek memberi sebagai fondasi dan benih perkembangan spiritual. Dengan melaksanakan praktek memberi juga berarti “melepas”, melepas dari kemelekatan. Mengapa kita harus berusaha agar dapat terlepas dari kemelekatan? Jawabannya karena kemelekatan adalah rantai yang membelenggu kita dalam lingkaran Samsara. Kita menderita berulang-ulang dan terus menerus karena kemelekatan. Sang Buddha juga menekankan bahwa kemajuan batin bukan tergantung pada seberapa banyak jumlah yang diberikan tetapi lebih pada sikap mental pada saat memberi. 

Seperti halnya semua perbuatan baik, buah dari perbuatan memberi tersebut akan mendatangkan kebahagiaan kepada kita di masa depan. Memberi menghasilkan manfaat bagi orang yang melakukannya di dalam kehidupan sekarang dan di alam kehidupan-kehidupan yang akan datang, tak perduli apakah kita sadar ataupun tidak sadar dengan kenyataan ini. Jasa kebajikan yang akan kita terima akan dapat menjadi lebih besar apabila pada saat memberi dibarengi dengan pemahaman yang benar. Praktek memberi tersebut, baik berupa pemberian yang kecil maupun dalam jumlah besar, semua perbuatan baik tersebut tetap akan membuahkan hasil yang baik pula dikemudian hari. 

Pada tingkat yang paling dasar, dana dalam Buddhis berarti memberi dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Tindakan memberi adalah murni karena kasihan atau keinginan untuk menolong orang lain. Pada kondisi seperti ini mungkin dana lebih tentang bagaimana kita sesungguhnya daripada apa yang kita lakukan. Melalui kemurahan hati, kita memupuk semangat murah hati. Semangat kebaikan hati ini biasanya akan mengarah pada kemurahan hati. 

Seseorang yang baru mulai memberi akan merasa memberi merupakan perjuangan yang hebat antara memberi dan tidak memberi. Sementara orang akan berpikir berulang kali: “Kalau saya memberi ini kemudian bagaimana kalau saya membutuhkan nanti?” Kalau latihan atau niat memberi meningkat, yang semula mereka berhitung di dalam memberi, sekarang dia memberi dengan satu langkah yang lebih baik. Tetapi dia berhitung dengan tujuan yang lebih halus. Misalnya dengan berpikir bahwa memberi ini mudah-mudahan citra saya naik di tengah-tengah masyarakat, dan masih banyak pertimbangan dan tujuan-tujuan lainnya.

Setingkat lebih tinggi, orang yang tidak lagi memberi dengan tujuan supaya dikenal orang, tidak lagi memberi dengan pemikiran supaya dipandang dalam masyarakat. Tetapi orang yang memberi dengan tujuan yang lebih jauh. Supaya dalam kehidupan ini tidak kekurangan. Supaya ekonomi keluarga tidak menjadi hancur. Semoga sesudah kematian bisa dilahirkan di alam surga sebagai dewa. Semua ini menunjukkan pengertian yang lebih maju, pengertian yang meningkat dari masingmasing orang yang menginginkan untuk memberi. Akhirnya akan sampai pada suatu pikiran puncak. Seseorang memberi dengan tujuan, saya memberi supaya saya bisa membebaskan diri saya dari lingkaran samsara. Dia memberi dengan tidak berhitung. Dia memberi dengan tidak mempersoalkan apa yang akan dia capai. Tetapi dia memberi hanya dengan tujuan semoga dia bebas dari keterikatan.

Memberi dengan tujuan agar terbebas dari keterikatan adalah cara untuk memurnikan pikiran, praktek memberi ini akan sangat membantu. Pemberian dengan niat yang baik dapat membantu menghapus penderitaan dengan 3 (tiga) cara. Pertama, bila kita memutuskan untuk memberikan sesuatu milik kita kepada orang lain, hal ini sekaligus kita mengurangi kemelekatan kita pada benda tersebut. Maka dengan membiasakan diri untuk memberi akan dapat melemahkan faktor mental keserakahan yang merupakan salah satu penyebab utama rasa tidak bahagia. Kedua, memberi dengan niat baik akan membuat kita terlahir di alam yang bahagia di masa yang akan datang. Ketiga, ini amat penting, apabila kita memberi dengan niat agar pikiran menjadi cukup ulet untuk pencapaian nibanna, maka tindakan memberi dengan sikap mental seperti ini akan membantu kita mengembangkan moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan.

Kita mungkin sulit berpisah dengan harta kekayaan. Tetapi ketika mati, toh kita tidak dapat membawa serta harta itu. Kehidupan ini pendek, oleh karena itu jika kita punya kesempatan untuk melakukan kebaikan, kita harus menggunakannya untuk memerangi ke-ego-an. Setiap momen dari perbuatan baik akan mengkondisikan munculnya kebaikan di masa depan. Sang Buddha mengajarkan bahwa setiap makhluk adalah ‘pewaris’ perbuatannya sendiri. Kita masing-masing menerima hasil dari perbuatan yang telah kita lakukan sendiri, perbuatan baik maupun perbuatan buruk yang dilakukan, maka buah dari perbuatan tersebutlah yang akan diwarisi dikemudian hari. Jika kita memberi dengan harapan memperoleh kehidupan berkelimpahan di masa mendatang, tujuan ini mungkin bisa tercapai, asalkan diikuti dengan memiliki perilaku yang bermoral (sila yang baik). Menurut Sang Buddha, motivasi berjuang untuk bisa terbebas adalah jauh lebih tinggi daripada motivasi untuk mengarah pada kebahagiaan duniawi di kelahiran yang akan datang. Karena, dana yang diberikan dengan menginginkan kesenangan masih diiringi akar psikologis berupa nafsu keinginan (tanha) yang tidak baik. Jasa kebajikan yang diperoleh lewat pemberian seperti itu habis di dalam kesenangan sementara, dan kebahagiaan duniawi itu membuat kita tetap berputar dalam lingkaran tumimbal lahir, yang pada dasarnya bersifat dukkha, mengandung benih penderitaan. 

Praktek memberi terkadang bisa dikatakan mudah, namun bisa juga dikatakan bahwa hal ini merupakan praktek yang sulit karena didalam pelaksanaannya memberi juga terkadang sesuai dengan intensitas keserakahan dan keegoisan seseorang. Di dalam Devatasamyutta, memberi diibaratkan pertempuran (danañ ca yuddhañ ca samanam ahu, S. i, 20). Orang harus memerangi kekuatan-kekuatan jahat yang terkandung di dalam keserakahan, sebelum dia dapat memutuskan untuk memberikan sesuatu yang disayangi dan berguna bagi dirinya sendiri. 

Latukikopama Sutta menggambarkan sebagaimana sulitnya bagi orang yang kekurangan kekuatan spiritual untuk menyerahkan benda yang sudah lama bersamanya (M. I, 449). Seekor burung puyuh kecil bisa mati jika terjerat tanaman rambat yang sudah busuk sekalipun. Walaupun lemah, tanaman rambat busuk sudah merupakan belenggu yang kuat bagi si burung kecil itu. Sebaliknya, bahkan rantai besi pun bukan merupakan belenggu yang terlalu besar bagi seekor gajah yang kuat. Demikian pula, bagi seseorang yang miskin dan menderita, yang lemah karakternya, sungguh sulit untuk berpisah dengan harta miliknya yang lusuh dan tak seberapa, sementara seorang raja yang kuat karakternya rela menyerahkan kerajaannya begitu dia menyadari bahayabahaya keserakahan. Kebanyakan dari kita memberi sesuatu barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan lagi/relatif tidak diperlukan lagi, sehingga praktek memberi disini menjadi mudah, karena yang diberikan bukan merupakan barang terbaik miliknya. Sebaliknya, ketika kita memberikan sesuatu barang/materi yang sebenarnya juga kita butuhkan maka akan terjadi peperangan di dalam diri untuk bisa sampai pada keputusan memberi.

Sebenarnya apa yang menjadi halangan didalam memberi ini ? Kekikiran. Namun kekikiran bukanlah satu-satunya penghalang bagi perbuatan memberi. Kecerobohan serta ketidak-tahuan akan Hukum Karma dan kehidupan setelah mati juga merupakan penyebab yang sama sahnya (macchera ca pamada ca evam danam ca diyati, S. i, 18). Jika orang mengetahui manfaat-manfaat moral dari memberi, maka dia akan rajin menggunakan kesempatan yang ada untuk mempraktekkan kebajikan yang besar ini. Suatu saat Sang Buddha pernah mengatakan bahwa seandainya saja orang mengetahui nilai memberi sebagaimana Beliau mengetahuinya, mereka tidak akan makan tanpa berbagi makanan dengan yang lain. Sebenarnya, banyak sekali sutta-sutta yang merinci berbagai manfaat dari memberi. Dikatakan bahwa memberi bisa meningkatkan persatuan sosial dan solidaritas. Memberi merupakan sarana terbaik untuk menjembatani kesenjangan psikologis yang jauh lebih sulit daripada kesenjangan ekonomi materi, yang ada di antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Magha Sutta menyatakan bahwa kebencian menjadi hilang jika orang-orang sudah mantap dalam kebaikan hati (Sn. 506). Orang yang memiliki hati dermawan dicintai oleh orang-orang lain dan oleh banyak orang yang bergaul dengannya (A. iii, 40). Memberi juga mengokohkan persahabatan (Sn. 187).

Dikatakan bahwa seorang pemberi dana memberikan kepada orang lain kehidupan, keelokan, kebahagiaan, kekuatan dan kepandaian. Setelah memberikan hal-hal itu kepada yang lain, dia menjadi pewaris dari hal-hal itu sendiri. Setelah kita mengetahui begitu banyak manfaat dari memberi, hendaknya kita perlu memperkuat tekad dan keinginan kita untuk selalu memberi. Dengan praktek memberi itu sendiri, apabila dijalankan dengan benar, maka akan melahirkan kebahagiaan bagi pemberi dan memberikan manfaat bagi penerimanya. Mari kita terus menumbuhkan keinginan untuk selalu memberi karena pembebasan dan kebahagiaan makhluk lain juga merupakan tanggung jawab kita semua. 

 

Sumber: Dhammadana Para Dhammaduta 3

Artikel Terbaru