vidyasena header background

Mati? Siapa Takut?

oleh Ryan Rezky Setiawan 2 tahun yang lalu
gambar pemakaman - vidyasena

Pandangan manusia awam mengenai kematian sungguh beragam, ada yang menganggap kematian merupakan akhir dari kehidupan, atau bahkan merupakan suatu awal kehidupan. Persepsi ini adalah suatu hak pribadi dalam menanggapi sesuatu yang pasti yakni kematian. Yang menjadi misteri adalah bagaimana, kapan serta cara seseorang meninggal, juga akan kemanakah kita setelah kematian. Manusia pada umumnya memiliki keakuan yang tinggi sehingga senantiasa mencari keduniawian dan kurang merenung bahwa duniawi tersebut akan berakhir suatu saat. Manusia cenderung khawatir serta merasa takut ketika dihadapi dengan kematian. Pada umumnya, manusia masih dihinggapi oleh Lobha (keserakahan), Dosa (kebencian) dan Moha (Kegelapan batin) sehingga cenderung senang memuaskan nafsu inderanya, tidak peduli tentang proses hidup karena kebodohannya. Rasa segan manusia untuk menyelami kematian, tidaklah berbeda dengan rasa segan ketika orang pergi ke dokter guna memeriksa diri, sekalipun dirasakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada badannya. Hidup tanpa mengingat bahwa kematian akan mengakhiri sama dengan hidup dalam surga orang bodoh, sehingga suatu saat Sang Buddha bersabda “Bila orang sungguh-sungguh bijaksana pasti akan merenungkan senantiasa bahwa maut dalam kekuatan yang dashyat dapat merenggut manusia setiap saat”.

Dalam pandangan Dhamma yang menjadi dasar kita sebagai umat buddha sudah selayaknya memandang kematian sebagai sesuatu yang biasa. Kematian merupakan sebagian dari proses hidup, bersifat universal dan pasti (akan terjadi). Selain itu, hal yang terpenting adalah kematian tidak terhindarkan oleh semua makhluk di alam semesta ini. Jadi kita sebagai buddhis perlu bersikap “santai” karena semua ini akan menimpa segala jenis makhluk hidup. Bahkan makhluk tak hidup (dewa, hantu, makhluk di alam neraka) pun akan mengalami ketidakkekalan sesuai hukum alam yakni Anicca.

Jika kita ingin lebih mengenal dengan kematian, seharusnya kita melakukan perenungan terhadapnya. Perenungan ini dianjurkan oleh Sang Buddha kepada para Bhikkhu yang dikenal sebagai Maranānussati bhavana. Tentunya kita sebagai umat awam tidak salah juga melakukan perenungan ini. Perenungan tentang kematian akan mengurangi nafsu yang berlebihan (kenikmatan indera) atau tanha. Perenungan akan memberikan keseimbangan dan pandangan yang sehat, memberi kekuatan dengan arah tertentu pada pikiran kita. Perenungan akan melenyapkan pandangan menakutkan tentang kematian. Perenungan akan menjadikan kita lebih tenang dan teduh saat menghadapinya suatu saat nanti. Sang Buddha pernah membabarkan suatu syair yang berbunyi, “O, kematian, apakah yang menakutkan darimu?”. Mulai dari sekarang kita harus belajar menilai menghadapi kenyataan hidup secara wajar. Kematian merupakan resiko kehidupan, maka jika tak ingin mati janganlah terlahir.

Dalam pikiran manusia yang terbatas, misteri mengenai penyebab kematian sulit terjawab. Jika kita menanyakan kepada seorang ahli kesehatan tentang apa yang dimaksud kematian, tentu jawabannya : “kematian adalah proses ketika terhentinya kerja jasmani”, kemudian mengapa badan jasmani ini bisa terhenti?, “karena jantung berhenti berdetak”, mengapa jantung berhenti berdetak?, “karena ada suatu gangguan sehingga organ tidak berfungsi normal”, kemudian mengapa organ bisa terganggu?, “karena ada faktor dari luar seperti bakteri atau virus”, kemudian apakah yang menyebabkan bakteri atau virus tersebut masuk ke dalam organ?. Jawaban selanjutnya akan sulit dijawab oleh pengetahuan manusia yang terbatas, dapatkah kita mengatakan bahwa penyebab kematian adalah bakteri atau virus? Tentu tidak, sebagai Buddhis kita harus berpikir lebih rasional, kita telah diajarkan oleh guru kita mengenai hukum Kamma. Hukum inilah yang bertanggung jawab penuh terhadap kematian. Konsep hukum kamma sebenarnya dapat diringkas menjadi “suatu aksi akan menghasilkan reaksi”. Dengan berbagai jenis aksi yang dapat dilakukan oleh banyak manusia akan menghasilkan banyak jenis kemungkinan reaksi (Kammavipaka), inilah yang mendasari begitu banyak kemungkinan cara seseorang meninggal. Suatu aksi yang dilakukan akan menghasilkan reaksi yang spesifik.

Hukum kamma ini merupakan hukum alam, tidak ada orang atau pemerintah bahkan subjek yang kuasa yang menciptakannya. Bila seseorang takut akan kematian, tidakkah lebih baik untuk menggunakan kesempatan pada waktu hidupnya guna memupuk kebajikan agar mendapatkan hasil kebahagiaan pada masa yang akan datang? Hanya menakuti kematian yang pasti datang dan tidak berbuat sesuatu yang menjamin kebahagiaan adalah suatu kemalasan mental dan hal yang bodoh.

Pengertian lain dalam menyelami kematian adalah tentang hukum “paduan” atau Sankhara dan hukum perubahan Anicca. Segala sesuatu adalah paduan dari unsurunsur, tidak ada secara “tiba-tiba” terbentuk. Demikian pula manusia atau tubuh jasmani ini, “Human body are only contain moving energy depends on time”. Hukum perubahan juga dapat membantu kita untuk memahami bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Kebanyakan manusia awam menganggap bahwa alam semesta merupakan sesuatu yang harmoni yang indah, yang kekal. Namun dari segi lain dapat pula dikatakan bahwa alam semesta ini penuh dengan ketidakselarasan. Melalui kacamata yang wajar, bahwa segala sesuatu tak ada yang kekal, segala sesuatu hanya timbul untuk kemudian rusak. Unsur waktu menjadi unsur yang sangat penting dan hal yang paling bertanggung jawab atas semua perubahan tersebut. Tidak ada di dunia ini yang dapat menentang waktu ataupun memutar kembali waktu. Walaupun ada perubahan yang lambat maupun cepat tetapi tetaplah itu sebuah perubahan / pergerakan. Sekali lagi badan jasmani kita terdiri dari materi (dengan 4 unsur, yakni api, air, tanah dan udara) pun tidak bebas dari perubahan. Lebih lekas orang menerima dan mengerti bekerjanya hukum perubahan ini, ia akan makin dapat menyelaraskan cara hidupnya, cara berpikir dan berbuat. Bila pikiranpikirannya berubah menjadi baik maka ucapan-ucapan, tutur kata dan perbuatannya dengan sendirinya akan berubah menjadi yang baik pula. Dengan tekad tertentu, seseorang dapat memanfaatkan hukum perubahan untuk merenungkan kematian. Ia tidak akan lagi takut terhadap kematian, oleh karena ia tak mengkhawatirkan lagi tentang hidup di kemudian. Seperti tertulis dalam Dhammapada:

“Pembuat kebaikan berbahagia dalam alam ini

Ia berbahagia dalam alam berikutnya

Ia berbahagia dalam alam kedua-duanya.”

Sang Buddha mengatakan “Segala keadaan suatu makhluk adalah serupa demikian uppȧda, thiti, bhanga – timbul, menetap sejenak dan berlalu”. Hukum ini meyakinkan kita bahwa kematian adalah suatu yang wajar karena manusia yang terdiri dari berbagai unsur akan lahir, menetap sejenak kemudian berlalu (mati).

Yang menjadi khas dalam agama Buddha mengenai apa yang terjadi setelah kematian adalah adanya kelahiran kembali (punabhava). Makna kelahiran kembali berhubungan erat dengan kesadaran atau viññāna. Dinyatakan bahwa kesadaran hidup pada manusia adalah disebabkan pada perbuatan-perbuatannya yang baik maupun yang buruk dari kamma kehidupannya yang lampau. Ini merupakan faktor penghubung dari kehidupan lalu dengan kehidupan sekarang atau yang disebut dengan kelahiran kembali. Sebenarnya kesadaran atau viññāna ini terdapat pada mata rantai dalam Paticca-Samuppaāda. Sebutan lain yang lebih dikenal adalah patisandhi- viññāna.

Dalam ilmu pengetahuan (ilmu biologi) dinyatakan bahwa syarat terbentuknya organisme adalah telah terjadinya pembuahan (bertemunya sel sperma dan ovum) atau hubungan kelamin seorang ayah dan ibu. Menurut Dhamma, faktor-faktor tersebut belumlah cukup untuk menyebabkan kelahiran, kedua faktor ini merupakan unsurunsur fi sik. Oleh sebab itu diperlukan unsur ketiga yakni patisandhi-viññāna atau kesadaran penghubung. Seperti kita ingin menyalakan suatu pelita yang melibatkan sumbu dan minyak, sekalipun minyaknya banyak dan sumbunya bagus jika tanpa percikan atau jilatan api tidak mungkin kita dapat menyalakan pelita tersebut. Kita mengetahui bahwa perbuatan dari masa lampau merupakan suatu energi mental (batiniah). Kamma dari masa lampau melepaskan energi-energi yang cukup kuat untuk menciptakan suatu kondisi untuk menyebabkan sesuatu makhluk terlahir kembali pada tempat yang sesuai dan karakteristik yang spesifi k sesuai perbuatan tadi. Kekuatan atau energi inilah yang menimbulkan patisandhi- viññāna, unsur ketiga. Dengan kata mudahnya perbuatan lampau kita menghasilkan energi untuk kita agar terlahir kembali dengan corak dan karakteristik yang khusus, spesifi k yang bobotnya sesuai dengan input yang kita lakukan (perbuatan kita). Kematian merupakan suatu bagian dari proses hidup yang luas. Sebagai analogi kematian seperti kerusakan dari lampu pijar, cahaya lampu telah padam, namun aliran listriknya tidak, dan ketika lampu baru dipasang menyalalah kembali lampu itu. Terdapat kelangsungan aliran hidup, kehancuran dari tubuh jasmani tak melenyapkan energi kamma yang akan menampakkan diri dalam tubuh/jasmani baru. Ada pepatah mengatakan “Jika anda ingin melihat masa depanmu, lihatlah apa yang kau perbuat sekarang”. Sesungguhnya kita saat ini sedang merencanakan bagaimana kita di masa yang akan datang, setiap manusia adalah arsitek kebahagiaan mereka sendiri.

Marilah kita meneliti saat kematian yang sesungguhnya tidak perlu menjadi hal dibesar-besarkan merupakan ciri dari perwujudan manusia, hanya untuk terbentuk lagi perwujudan lain. Keadaan tubuh manusia menjelang kematian umumnya lemah, sehingga kewaspadaan, kesadaran batin tak cukup kuat untuk menentukan arah pikiran-pikiran. Karenanya ingatan kepada kesan-kesan yang lampau akan menentukan dimana (perlambang tujuan) ia nanti akan terwujud/terlahir.

Adapun beberapa tips untuk kita semua dalam menghadapi kematian, sebagai Buddhis kita telah mengerti penyebab kematian, apa yang bertanggung jawab, apa yang terjadi setelah mati, mengantisipasi agar kita tidak terlahir ke alam yang lebih rendah dari alam sebelumnya karena sesungguhnya tidak ada makhluk yang ingin menderita. Kita harus senantiasa berbuat kebajikan, mengumpulkan jasa-jasa baik agar peluang kita terlahir di alam yang lebih baik menjadi besar. Kemudian jika ada seseorang yang sedang menghadapi keadaan sesaat sebelum kematian, dengan penuh kesadaran, bertekad kuat untuk lahir di alam tertentu (tentu yang bahagia), juga bisa mengingat kembali jasa-jasa kebajikan yang telah diperbuat saat hidup.

Marilah kita sebagai Buddhis, memulai paradigma baru bahwa kematian adalah hal yang pasti, wajar, biasa, lumrah, dan tak perlu ditakuti. Setelah itu marilah kita merenungi tentang kematian atau Maranānussati bhavana dalam kehidupan kita sehari-hari. Kematian adalah sebagian proses hidup, semua makhluk tak lepas darinya. Satu-satunya penolakan yang dapat dilakukan terhadap kematian adalah penolakan akan kelahiran3 . Perbanyaklah kebajikan selagi kita masih hidup, karena semua ini berubah dan tak terulang kembali, lupakan sejenak apa yang telah terjadi di masa lampau dan fokus pada kehidupan saat ini untuk kehidupan di masa yang datang. So, Are you Fear of Death Now?

 

Sumber: Dhammadana Para Dhammaduta 4

Artikel Terbaru