vidyasena header background

Bhikkhuni di Mazhab Theravada

oleh Tani Santi Dewi Jaya 2 tahun yang lalu
mahapajapati gotami memohon menjadi bhikkuni

Dewasa ini beredar kabar bahwa Sangha Bhikkhuni Theravada telah “punah”. Banyak pertanyaan yang muncul, apakah Sangha Bhikkhuni Theravada dapat dibangkitkan lagi? Menanggapi pernyataan dan pertanyaan tersebut perlu diperhatikan sejarah berdirinya Sangha Bhikkhuni pada masa Sang Buddha. 

Di India Kuno, tempat lahirnya ajaran Buddha, hiduplah bangsa Dravida yang merupakan bangsa asli India Kuno. Bangsa Dravida hidup di lembah sungai Indus. Bangsa Dravida mempunyai ciri-ciri fi sik yaitu warna kulit hitam, postur tubuh pendek, bentuk hidung pesek, rambut keriting, dan warna bola mata coklat. Kehidupan bangsa Dravida sangat maju di berbagai bidang, seperti sistem pertanian dan sistem irigasi. Mereka juga hidup menetap dalam kehidupan sistem tata kota yang baik, memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dalam bidang matematika, dan mengenal tulisan dalam bentuk naskah.

Pada tahun 1500 SM, bangsa Arya yang berasal dari Asia Tengah masuk ke wilayah India melalui celah Khaibar dan menetap di Mohenjodaro dan Harappa. Bangsa Arya memiliki ciri-ciri berkulit putih, postur tubuh tinggi, bentuk hidung mancung, rambut pirang, dan bola mata biru. Bangsa Arya bermata pencaharian sebagai penggembala dan hidup berpindah-pindah atau nomaden. Mereka tidak terbiasa dengan kehidupan tata kota. Mereka menyukai perang dan hidup dari rampasan. 

Bangsa Arya memiliki kepercayaan brahmanisme, yaitu mempercayai bahwa roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian, apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa) yang disebut juga sebagai paham kosong atau nihilisme. Adanya anggapan bahwa hidup hanya sekali dan tidak ada lagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahannya pada kehidupan ini. 

Berbeda dengan pandangan brahmanisme, bangsa Dravida yang memiliki pandangan sramanaisme menganggap bahwa bahwa roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan abadi. Apabila pada saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan paham eternalisme (kekekalan). Adanya anggapan bahwa roh akan terus ada,roh ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan sesuatu yang disebut Maha Kekal. Roh tersebut haruslah menjadi roh yang suci dahulu untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal. Akibatnya seseorang akan terus melakukan penyiksaan diri (bahkan sampai berlebihan) dengan tujuan menyucikan rohnya sendiri.

Lambat laun, bangsa Arya mulai berpikir bagaimana agar dapat berkuasa di India dan menjadikan bangsa asli sebagai budak mereka. Pertama kali yang dilakukan oleh mereka adalah menularkan kebiasaan-kebiasaan dan ajaran-ajaran yang mereka punya kepada bangsa setempat. Mereka menularkan konsep kepercayaan yang mereka punya. Bangsa Arya merasa semua cara itu semua belum berhasil menggulingkan kebudayaan masyarakat setempat, akhirnya bangsa Arya mencoba dengan sistem kasta. Sistem kasta merupakan sistem yang dipakai oleh bangsa Arya untuk mengelompokan sekaligus membedakan antara bangsa asli dengan bangsa Arya dan cenderung lebih mengunggulkan kedudukan bangsa Arya. Ada empat kasta yang dipakai oleh mereka, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Penduduk asli diletakkan di kasta yang paling rendah yaitu kasta Sudra. Pada kasta Sudra, orang-orangnya tidak boleh berhubungan dengan kasta lain karena mereka tercipta dan ditakdirkan sebagai seorang budak/pembantu.

Kitab Manusmrti yang merupakan kitab milik kaum Brahmana (bangsa Arya) menggambarkan bahwa wanita tidak memiliki kebebasan dan tidak dapat menikmati hak asasi yang layak. Kaum wanita dianggap tidak memiliki peran dalam kehidupan mereka. Hal ini dapat terlihat dalam sistem peternakan bangsa Arya, kaum prialah yang menggembala ternak dan melawan perampok yang bermaksud merampas ternaknya, sedangkan kaum wanita hanya tinggal di rumah, memasak dan mengurus rumah. Selain itu, kaum wanita hanya dianggap sebagai pemuas nafsu seksual. Wanita di masa itu sama dengan kaum Sudra tidak memiliki hak di bidang pendidikan ataupun beragama.

Kemudian orang-orang yang merasa tidak puas dengan sistem yang diajarkan oleh kaum Brahmana (bangsa Arya) mengadakan perubahan dengan membentuk agama baru. Agama baru ini disebut agama Jainisme yang lebih dikenal dengan Samanaisme (pali) atau Sramanaisme (sansekerta). Agama Samanaisme mengajarkan bahwa semua orang boleh menikmati kesenangan duniawi tanpa batas, mereka diperbolehkan membunuh, dan melakukan tindak kejahatan lainnya. Mereka berpendapat bahwa bila kaum Brahmana boleh menikmati kesenangan indriawi maka yang lain juga berhak. 

Pada periode Aranyaka (pertapaan) yaitu sebuah penentangan terhadap sistem monopoli kaum Brahmana, wanita mulai mendapatkan kebebasan beragama. Orang yang pertama kali menentang sistem kediktatoran kaum Brahmana terhadap kaum wanita dalam kehidupan pertapaan adalah Niganta Nataputta (Jaina Mahavira). Ia menerima wanita masuk dalam Sangha untuk menjadi bhikkhuni. Walaupun kemudian, beberapa bhikkhuni Niganta Nataputta, meninggalkan Sangha Jaina dan bergabung dengan Sangha di bawah naungan Sang Buddha.

Proses penerimaan bhikkhuni dalam Buddha Sasana tercatat di Vinaya Pitaka, bahwa setelah Raja Suddhodana wafat, Mahapajapati Gotami beserta wanita meminta ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Pada penabiskan itu Sang Buddha tidak serta merta menerima Mahapajapati Gotami dan wanita lainnya langsung menjadi bhikkhuni. Sang Buddha memberikan pernyataan atas pertanyaan Mahapajapati Gotami atas keinginannya menjadi bhikkhuni. Berikut adalah pernyataan yang diberikan Sang Buddha :

“Jangan gegabah, Gotami, terhadap keinginan wanita untuk meninggalkan kehidupan perumah tangga menuju kehidupan tak perumah tangga dalam Dhamma dan vinaya ini yang dibabarkan oleh Penemu Kebenaran.”

Mahapajapati Gotami mengulang pertanyaan tersebut sebanyak tiga kali, namun jawaban Sang Buddha tetap sama. Jawaban yang diberikan Sang Buddha tersebut akhirnya membuat Mahapajapati Gotami berpendapat bahwa Sang Buddha tidak mengizinkan wanita menjalani kehidupan selibat dan mempraktekkan Dhamma dan vinaya secara serius di bawah naungan-Nya. Mahapajapati Gotami menjadi sedih dan kecewa.

Ketika Sang Buddha melakukan perjalanan ke Vesali, Mahapajapati Gotami dengan rambut yang telah dicukur dan mengenakan jubah, bersama dengan wanita lainnya dari suku Sakya mengikuti Sang Buddha dan menunggu di pintu depan gerbang vihara dengan kaki bengkak yang akhirnya membuat Y.M. Ananda iba, sehingga Y.M. Ananda menanyakan kembali ke Sang Buddha, namun jawaban yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan jawaban yang diterima Mahapajapati Gotami.

Menyadari hal tersebut, Y.M. Ananda menggunakan metode lain untuk mengajukan pertanyaan yang membuat sang Buddha dalam posisi yang membutuhkan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Bila Sang Buddha tetap menjawab “tidak” berarti Sang Buddha mendiskriminasi wanita dan bila menjawab “ya” berarti Sang Buddha memperbolehkan wanita memasuki kehidupan Sangha. Berikut adalah pertanyaan dari Y.M. Ananda:

“Bhante, apakah wanita setelah meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tak berumah tangga di dalam Dhamma dan vinaya yang diajarkan oleh Penemu Kebenaran, dapat merealisasi buah dari pemenang arus (sotapattiphala), yang kembali sekali lagi (sakadagamiphala), tak kembali lagi (anagamiphala), arahat (arahattaphala)?”

Terlihat bahwa pertanyaan yang diberikan Y.M. Ananda adalah pertanyaan yang mengarah pada diskriminasi bila dijawab secara negatif. Pada saat itu Mahapajapati Gotami telah merealisasikan tingkat kesucian pertama. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Sang Buddha untuk menjawab dalam bentuk negatif. Kemudian hal tersebut menjadi pembuka jalan bagi Y.M. Ananda untuk melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Y.M. Ananda menunjukan jasa, pengabdian, dan kebaikan Mahapajapati Gotami. Y.M. Ananda mengatakan bahwa Sang Buddha seharusnya mau menerima Mahapajapati Gotami dalam Sasana. Atas saran dan segala pertimbangan, Sang Buddha akhirnya mengatakan, jika Mahapajapati Gotami mau menerima delapan peraturan keras wanita dapat menjadi upasampada untuk menjalani kehidupan kebhikkhunian. 

Delapan peraturan keras tersebut adalah: 

  1. Seorang Bhikkhuni meskipun telah menjalani kehidupan sebagai bhikkhuni selama seratus tahun, ia harus menghormat, bangkit dari tempat duduknya, beranjali kepada bhikkhu yang meskipun baru menjalani kehidupan kebhikkhuan selama satu hari. 
  2. Bhikkhuni tidak boleh menjalani vassa di tempat yang tidak ada bhikkhu-nya. 
  3. Setiap uposatha dua minggu sekali, bhikkhuni harus melakukan dua hal kepada bhikkhu Sangha yaitu menanyakan hari uposatha dan datang untuk mendapatkan nasehat. 
  4. Setelah selesai menjalani vassa, bhikkhuni harus mengundang atau memberikan kesempatan kepada kedua Sangha untuk memberikan kritikan terhadap apa yang mereka lihat, dengar, dan apa yang mereka duga terhadap dirinya. 
  5. Bhikkhuni setelah melanggar peraturan penting (garudhamma), harus menjalani manatta selama setengah bulan di hadapan kedua Sangha. 
  6. Seorang wanita bisa mendapatkan upasampada setelah ia menjalani latihan selama dua tahun dengan menjalankan enam latihan moralitas.
  7. Bhikkhuni tidak boleh mencela, merendahkan, atau menghina bhikkhu dengan alasan apapun. 
  8. Seorang bhikkhuni tidak boleh menasehati bhikkhu tapi bhikkhu boleh menasehati bhikkhuni.

Mahapajapati Gotami dan wanita-wanita lain menerima delapan peraturan tersebut dengan senang dan antusias. Mahapajapati Gotami merupakan bhikkhuni pertama dalam sejarah kebhikkhunian. Ia tidak harus menunggu waktu dua tahun untuk menjadi bhikkhuni tetapi secara spontan begitu ia mengakui menerima delapan peraturan keras tersebut, saat itu pula ia telah menjadi bhikkhuni.

Bila dilihat dari keputusan Sang Buddha untuk menerima Mahapajapati Gotami beserta wanita-wanita suku Sakya dengan syarat harus mematuhi delapan aturan keras tersebut, mungkin sekilas terlihat bila Sang Buddha mendiskriminasi wanita secara halus. Namun, melihat kondisi India pada masa itu, maka keputusan Sang Buddha sebenarnya sudah mempertimbangkan kondisi sosial, politik, dan keamanan.

Pada peraturan pertama, Sang Buddha menyebutkan bahwa Seorang bhikkhuni meskipun telah menjalani kehidupan sebagai bhikkhuni selama seratus tahun, ia harus menghormat, bangkit dari tempat duduknya, beranjali kepada bhikkhu yang meskipun baru menjalani kehidupan kebhikkhuan selama satu hari. Peraturan ini juga berkolerasi dengan peraturan ke-tujuh dan kedelapan. Dalam hal ini perlu diperhatikan, bagaimana status sosial wanita-wanita yang ingin menjadi bhikkhuni dan bhikkhu-bhikkhu yang telah ada.

Wanita-wanita yang pertama kali menjadi bhikkhuni adalah wanita-wanita dari kasta Ksatria dan Mahapajapati Gotami sendiri adalah seorang ratu. Kasta Ksatria merupakan kasta tertinggi di India bagian timur sedangkan kasta Brahmana menempati posisi kedua. Melihat bhikkhubhikkhu yang ada tidak semuanya berasal dari kasta tinggi dan dikarenakan status sosial serta budaya pada masa itu, sehingga Sang Buddha menetapkan peraturan, wanita meskipun telah menjalani kehidupan sebagai bhikkhuni harus menghormat kepada bhikkhu yang meskipun baru di upasampada pada hari itu. Hal tersebut terjadi karena wanita yang pertama mengajukan permohonan menjalani kehidupan spritual berkasta tinggi. Hal ini mungkin akan berbeda jika wanita yang mengajukan permohonan pertama kali berasal dari kasta yang rendah.

Sang Buddha berkomitmen untuk menjaga nama baik serta reputasi Sangha di tengah-tengah masyarakat. Vinaya ditetapkan juga bertujuan agar anggota Sangha menjaga diri dan selalu membawa nama baik Sangha di tengah-tengah masyarakat. Melihat adanya sistem kasta yang pada hakikatnya merugikan kaum wanita, khususnya pada tradisi Brahmanisme yang menganggap wanita sebagai bahan hinaan dan cacian. Oleh karena itu, Sang Buddha menurunkan delapan peraturan keras untuk para bhikkhuni mengingat kondisi sosial, politik, dan ekonomi pada masa itu.

Perkembangan Sangha Bhikkhuni berlanjut hingga beberapa abad kemudian. Di Sri Langka sekitar abad ke tiga sebelum masehi, Bhikkhuni Sanghamitta yang tentunya disertai paling tidak empat bhikkhuni lainnya datang ke Sri Lanka untuk membentuk Bhikkhuni Sangha di negara tersebut. Kedatangan para bhikkhuni yang disertai tujuan mulia tersebut, dikatakan bahwa banyak kaum wanita yang tertarik untuk menjadi bhikkhuni dan akhirnya terbentuklah bhikkhuni sangha di Sri Lanka sesuai dengan Vinaya Pitaka yang diajarkan oleh Sang Buddha. Hanya sayangnya, diungkapkan oleh Prof. G. P. Malasekara, sejarah kemudian juga mencatat bahwa sangha bhikkhuni yang berkembang dengan baik di negeri Sri Lanka harus mengalami keadaan yang tidak memungkinkan untuk melakukan kelanjutannya atau regenerasi. Hal ini berkenaan dengan invasi dan administrasi pemerintahan Kerajaan Chola dari India Selatan di Sri Lanka sekitar abad X masehi. Sehingga sejak saat itu, sangha bhikkhuni di Sri Lanka mulai sirna dari keberadaannya.

Sangha Bhikkhuni dulu juga sempat berjaya namun, mulai memudar dan akhirnya punah karena tak ada lagi wanita yang berminat upasampada menjadi bhikkhuni. Itulah saat terakhir keberadaan Sangha Bhikkhuni di muka bumi ini. Dengan kata lain, tradisi bhikkhuni Theravada yang bermula sejak zaman Sang Buddha tersebut telah terputus. 

Setelah terputusnya atau punahnya keberadaan Sangha Bhikkhuni Theravada, maka untuk membentuk kembali Sangha Bhikkhuni Theravada tidak dapat dilakukan. Hal ini mempertimbangkan beberapa tahap perubahan cara upasampada bhikkhuni yang tercatat pada kitab Vinaya Pitaka jilid ketujuh Culavagga :

  • Pertama, Dilakukan sendiri oleh Sang Buddha dengan memberikan garudhamma kepada Putri Mahapajapati Gotami. Upasampada ini dilakukan secara khusus hanya pada Putri Mahapajapati Gotami. Upasampada ini disebut Atthagarudhammapatiggahanupasampada. Sang Buddha tidak pernah lagi melakukannya pada wanita lain.
  • Kedua, Dilakukan oleh para bhikkhu atas perintah Sang Buddha. Upasampada ini dilakukan hanya pada para wanita pengikut Putri Mahapajapati Gotami. Tidak dilakukan pada wanita lain sesudahnya. 
  • Ketiga, Setelah Sangha bhikkhuni terbentuk (dipimpin oleh Bhikkhuni Mahapajapati Gotami), upasampada yang dinamakan Atthavacikaupasampada dilakukan pada dua Sangha yaitu, Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni, sesuai dengan garudhamma yang harus dipatuhi oleh bhikkhuni seumur hidup. Upasampada ini dilakukan semasa Sang Buddha masih hidup hingga Sang Buddha Parinibbana dan sesudahnya. Sang Buddha tak pernah mengijinkan upasampada dengan cara lain.

Seperti yang telah dijelaskan pada peraturan di atas, tidak memungkinkan terbentuknya Sangha Bhikkhuni Theravada kembali. Bila terjadi upasampada dengan cara lain, itu berarti telah melanggar ketentuan yang Sang Buddha tetapkan. Telah melanggar vinaya. Hasilnya, tentu saja tidak bisa disebut sebagai ‘bhikkhu’ seperti yang telah diterangkan dalam Tipitaka (Pali) bagian Vinaya Pitaka. Vinaya (kedisiplinan) bagi para bhikkhu maupun bhikkhuni diberlakukan oleh Sang Buddha seiring dengan perjalanan sejarah dan hukum ketidakkekalan.

Untuk mencapai pencerahan (Nibbana), seorang wanita khususnya tidak harus memasuki kehidupan kebhikkhuan, seperti Mahapajapati Gotami. Beliau sebelum memasuki kehidupan kebhikkhuan telah mencapai tingkat kesucian pertama, sehingga bagi kaum wanita saat ini, yang terpenting adalah menjaga Sila, Samadhi, Panna dengan diimbangi dengan rajin berlatih atthasila.

Sumber: Dhammadana Para Dhammaduta 3

Artikel Terbaru