Agama Buddha, Sang Penjawab Tanda Tanya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan serta tata kaidah mengenai pergaulan antar manusia. Sedangkan menurut asal katanya, a berarti tidak, dan gama berarti kacau. Kata yang diyakini berasal dari bahasa Sansekerta ini menunjukkan pengertian bahwa orang yang mempunyai agama, hidupnya tidak akan kacau.
Ada beragam pendapat serta penafsiran berdasarkan tinjauan bahasa mengenai kata ‘agama’. Meski berlainan maknanya antar pendapat, semua definisi mengacu pada satu hal yang pasti, yakni bagaimana pentingnya agama di dalam kehidupan manusia. Agama memenuhi kebutuhan psikologis manusia akan rasa tenang dan kedamaian. Berbeda dengan kekayaan berupa materi yang hanya menunjang kehidupan kita di dunia secara fisik, agama berperan penting dalam membimbing manusia secara spiritual.
Sebagai seorang penganut agama Buddha di Indonesia, saya harus menghadapi realita yang kurang mengenakkan, yakni bagaimana penganut agama Buddha kini dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tidak jarang saat sedang bercakapcakap dan topik mengenai agama terangkat dalam percakapan, lawan bicara saya menunjukkan ekspresi terkejut ketika saya mengaku beragama Buddha. Beberapa jujur mengatakan bahwa mereka mengira saya penganut agama lain. Ada juga yang berasumsi lebih dulu bahwa saya adalah penganut agama tertentu, hingga saya yang harus mengoreksinya. Bahkan, ada juga yang blak-blakan mengatakan, “Oh, masih agama Buddha, ya?”
Menghadapi kejadian seperti itu, saya menanggapinya dengan tersenyum simpul. Maklum saja, di Indonesia, umat Buddhis bisa dikatakan sebagai kaum minoritas. Data tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penganut agama Buddha di Indonesia hanyalah sebesar 0.4% dari 240.271.522 orang, menduduki peringkat terbawah di antara empat agama lain. Juga sangat disayangkan, banyak dari umat Buddhis yang hanya memposisikan agama sebagai pelengkap ketika mengisi identitas, namun tidak sungguh-sungguh memahami ajaran agama Buddha.
Hampir seluruh anggota keluarga saya beragama Buddha. Meski begitu, sebagian besar diantara mereka cenderung hanya mengikuti tradisi kaum Tionghoa, seperti sembahyang kepada leluhur yang telah meninggal pada tanggal tertentu tanpa ikut kebaktian di Vihara. Bentuk penghormatan terhadap leluhur yang tercermin dari tradisi Tionghoa sangat sesuai dengan ajaran agama Buddha mengenai betapa pentingnya melakukan pelimpahan jasa bagi mereka yang telah tiada. Mungkin kesamaan ajaran inilah yang membuat keluarga besar saya memilih untuk menjadi umat agama Buddha.
Lalu mengapa saya yakin dan memilih ajaran ini sebagai tempat berpegang? Awalnya, saya menjadi umat Buddhis karena ikut-ikutan orangtua saja. Seperti yang terjadi pada orang kebanyakan, seorang anak biasanya hanya mengekor kepercayaan orangtua mereka. Ibu saya selalu bersemangat untuk mengajak saya ke Vihara dengan tujuan mengenalkan saya dengan ajaran Buddhis sehingga sejak kecil saya dibiasakan untuk ikut sekolah minggu. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, pengetahuan saya mengenai ajaran Buddha juga ikut bertambah. Berawal dari hobi saya membaca, saya menikmati cerita Jataka serta kisah hidup Sang Buddha melalui buku. Penyampaian ceramah pun juga ikut terkena sentuhan teknologi, di mana Ayah saya sering menyetel seminar tokoh Buddhis yang turut memperluas wawasan saya.
Saya menemukan banyak hal menarik dalam ajaran agama Buddha yang tidak bisa saya temukan di tempat lain. Yang pertama ialah hukum sebab akibat, atau yang lebih dikenal dengan hukum karma. Segala yang kita perbuat, apakah itu baik atau buruk, itulah yang akan kembali pada diri kita sendiri. Ajaran ini menjawab berbagai pertanyaan saya, seperti mengapa ada orang yang berumur begitu pendek, atau mengapa ada orang yang terlahir cacat. Entah mengapa, pernyataan yang mengatakan bahwa penderitaan di dalam hidup manusia adalah cobaan dari Tuhan kepada umat-Nya tidak dapat saya cerna begitu saja. Saya pun berfikir, mengapa Tuhan kerap memberikan cobaan bagi orang yang jelasjelas tidak mampu menghadapi itu semua? Hukum karma datang sebagai jawaban yang menghilangkan keraguan saya. Seseorang yang kerap menolong orang lain yang membutuhkan akan mendapatkan pertolongan di saat dirinya terjebak dalam kesulitan. Sebaliknya, jika seseorang kerap melakukan perbuatan jahat, seperti membunuh binatang, maka ia bisa menderita sakit-sakitan. Berbagai pengalaman yang terjadi dalam hidup sehari-hari telah menjadi bukti nyata atas hukum sebab akibat tersebut.
Selain hukum karma, konsep tumimbal lahir juga turut menjawab berbagai misteri kehidupan. Kelahiran kembali atau reinkarnasi tengah mencuri perhatian masyarakat dunia setelah munculnya kesaksian demi kesaksian dari orang yang mampu mengingat kehidupan lampaunya. Twenty Cases Suggestive of Reincarnation and Cases of Reincarnation Type yang ditulis oleh Profesor Ian Stevenson merupakan salah satu penelitian ilmiah mengenai reinkarnasi yang dibukukan. Menurut saya, bersesuaian dengan hukum karma, konsep tumimbal lahir adalah teori sesudah kematian yang menjadi jawaban paling memuaskan untuk pertanyaan “ke manakah orang pergi setelah meninggal?”. Seseorang yang lemah lembut dan welas asih akan cenderung terlahir di alam surga atau terlahir sebagai manusia yang bahagia. Sebaliknya, orang yang dipenuhi kebencian akan cenderung terlahir di alam neraka atau terlahir kembali sebagai manusia yang kehidupannya menyedihkan.
Konsep tumimbal lahir menyadarkan saya bahwa manusia masih memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki diri di kehidupan yang selanjutnya. Sifat yang menempel di diri kita merupakan pembawaan dari kehidupan yang lampau sehingga akan lebih baik bagi setiap orang jika mereka mencoba memperkuat nilai positif seperti kebijaksanaan, serta mengikis karakter buruk seperti keserakahan. Dengan melakukan hal ini, kita tidak perlu takut akan datangnya kematian karena apa yang tertanam dalam mental kita adalah nilai-nilai kebajikan, sehingga di kehidupan selanjutnya kita akan terlahir menjadi orang yang lebih bahagia.
Hal yang sama berlaku untuk kemampuan atau bakat di bidang tertentu yang melekat pada diri seseorang. Anak yang piawai bermain musik tidak akan kehilangan kemampuannya di kehidupan mendatang jika ia mengembangkan bakat tersebut sepanjang hidupnya. Ajaran ini menjadi jawaban yang menenangkan manusia bahwa sesungguhnya tidak ada pekerjaan yang sia-sia. Karakter positif atau pun bakat di suatu bidang yang telah kita asah di kehidupan ini, tidak akan hilang begitu saja di saat kita meninggal, melainkan melekat di diri kita sampai di kehidupan yang akan datang.
Hukum karma dan tumimbal lahir yang ada dalam ajaran agama Buddha menyadarkan saya bahwa saya-lah pemegang kendali utama di dalam hidup ini. Tidak ada makhluk lain yang dapat menentukan apa yang terjadi dalam hidup saya. Ketika saya tertimpa masalah, saya tersadar untuk tidak menyalahkan keadaan ataupun orang lain, melainkan meginstropeksi diri. Kunci utama terhadap kebahagiaan adalah dengan membaginya kepada makhluk hidup lain. Segala bentuk ‘mukjizat’ yang datang di kala saya mengalami kesulitan ialah buah dari perbuatan baik yang telah saya lakukan di waktu yang lalu. Kehidupan serba berkecukupan yang sekarang saya jalani juga tak lain berkat perbuatan baik yang saya lakukan di kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, saya tengah memetik buah yang manis, dan tidak selamanya manusia bisa terus memetik apabila tidak menanam, bukan? Oleh karena itu, saya juga termotivasi untuk terus melakukan perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Agama yang mampu menjawab segala tanda tanya dalam hidup ini tanpa ada rahasia yang ditutup-tutupi ialah agama Buddha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Albert Einstein, “If there is any religion that would cope with modern scientific needs it would be Buddhism.” Sang Buddha telah memaparkan segala hal mengenai kehidupan manusia di dalam Tripitaka. Buddha juga mengatakan bahwa manusia adalah pribadi yang amat berharga dan setiap orang dapat melenyapkan segala kekotoran batin serta mampu mencapai penerangan sempurna apabila mau berusaha.
Mengutip ayat Dhammapada 165, “Kita sendirilah yang harus menjalaninya, para Buddha hanyalah penunjuk jalan.” Sesuai dengan syair tersebut, ajaran ini tidak pernah berhenti mendorong saya untuk berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dengan menjalankan sabda Sang Buddha, dan sebab itu, saya memilih agama Buddha sebagai pedoman hidup saya.
Sumber: Dhammadana Para Dhammaduta 3